Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud”
hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah
“Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.”
Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahulloh berkata :
“Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.”
Imam Ahmad rahimahulloh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila
ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna
berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
[B]. DALIL-DALIL SYAR’I TENTANG AQIQAH
Hadist No.1 :
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau
menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul
Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]
Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
Hadist No.5 :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]
Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil
hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh
Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.
[C]. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAH
HUKUM AQIQAH SUNNAH
Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul Authar (6/213) : “Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi : “….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”
Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul Authar (6/213) : “Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi : “….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”
BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN MEMBID’AHKAN AQIAH
Ibnul Mundzir rahimahulloh membantah mereka dengan mengatakan bahwa : “Orang-orang ‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)].
Ibnul Mundzir rahimahulloh membantah mereka dengan mengatakan bahwa : “Orang-orang ‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)].
WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) :
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) :
“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’
(hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu
aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya
sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada
waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari
ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau
bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi
kedua orang tuanya.”
Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat
ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul
Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah
hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya
“al-Muhalla” 7/527.
Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari
kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka
boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21.
Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari
Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :
“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau
hari ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang
rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh
al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula
tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]
BERSEDEKAH DENGAN DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”
Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif.
TIDAK ADA TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA DIRINYA SENDIRI
Sebagian ulama mengatakan : “Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]
Sebagian ulama mengatakan : “Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]
Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya
dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya
pada satu waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari
hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini
mencakup orang dewasa maupun anak kecil.
AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. “Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Bari” (9/592) : “Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.”
Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. “Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Bari” (9/592) : “Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.”
Imam Ash-Shan’ani rahimahulloh dalam kitabnya “Subulus Salam”
(4/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya :
“Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi
perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.”
Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh dalam kitabnya “Raudhatun
Nadiyyah” (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah
untuk bayi perempuan adalah satu kambing.”
Penulis berkata : “Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi kebenarannya.”
BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.
Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.
Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya
“Fathul Bari” (9/592) : “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu
tsabit (shahih), tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua
kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk
menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing….”
Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan
aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah
laki-laki dengan dua kambing.
[Disalin dan diringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu
Muhammad ‘Ishom bin Mar’i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi
Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan
judul “Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997]
PERSYARATAN KAMBING AQIQAH TIDAK SAMA DENGAN KAMBING KURBAN [IDUL ADHA]
Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam
As-Shan’ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah
tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat
sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang lebih utama adalah yang
tidak cacat.
Imam As-Shan’ani dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1428) berkata :
“Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan
kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang
menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas.”
Imam Syaukhani dalam kitabnya “Nailul Authar” (6/220) berkata :
“Sudah jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu
hukum bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah
salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun
mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan
pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita
bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga
ini merupakan qiyas yang bathil.”
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” (7/523) berkata : “Orang
yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya
sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul
Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau
kambing itu bebas dari catat.”
MENGUSAP DARAH SEMBELIHAN AQIQAH DI ATAS KEPALA BAYI MERUPAKAN PERBUATAN BID’AH DAN JAHILIYAH
“Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah,
apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah
sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka
mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda :
“Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).”
[Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan
disahihkan oleh Hakim (2/438)]
Al-’Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya “Irwaul Ghalil” (4/388)
berkata : “Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk
kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.”
Al-’Allamah Imam Syukhani dala, kitabnya “Nailul Aithar” (6/214)
menyatakan : “Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap
kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah)..”
Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas
bahwasannya dia berkata : “Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah
terhadap anak kecil….dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah.” [Hadits
Riwayat Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar.
BOLEH MENGHANCURKAN TULANGNYA [DAGING SEMBELIHAN AQIQAH] SEBAGAIMANA SEMBELIHAN LAINNYA
Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya,
seperti ditegaskan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (2/502), karena tidak
adanya dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang
menghancurkan tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada
kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk
dimakan.
Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah :
[1] Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian menghancurkan
tulang sembelihannya.” [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya,
Hadits Riwayat Baihaqi (9/304)]
[2] Dari Aisyah dia berkata : “….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya….” [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, Hadits Riwayat. Hakim (4/283]
[2] Dari Aisyah dia berkata : “….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya….” [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, Hadits Riwayat. Hakim (4/283]
Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak
shahih. [lihat kitab “Al-Muhalla” oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].
DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK MEMBERIKANNYA DALAM KEADAAN MENTAH
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud”
hal.43-44, berkata : “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang
demikian itu, karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang
miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan
ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut.
Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya
dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap
makan, dan enak rasanya, tentu rasa
gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.”
gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.”
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA DIJUAL
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud”
hal.51-52, berkata : “Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah
(taqarrub) kepada Alloh Ta’ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya
sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya.
Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar
itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara
penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari
penjualan itu digunakan untuk upah
penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN,
BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN, DAN MENGHADIAHKAN DAGING SEMBELIHANNYA,
TETAPI YANG LEBIH UTAMA JIKA SEMUA DIAMALKAN
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud”
hal.48-49, berkata : “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang
cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum
asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi
makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau
menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi
lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan
membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut,
berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar
sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Alloh Ta’ala”.
[lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
JIKA AQIQAH BERTETAPAN DENGAN IDUL QURBAN, MAKA TIDAK SAH KALAU MENGERJAKAN SALAH SATUNYA [SATU AMALAN DUA NIAT]
Penulis berkata : “Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak
sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus
dikerjakan. Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang
tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang
menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan
sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan
Alloh Ta’ala tidak
pernah lupa.”
pernah lupa.”
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG YANG BERSEDEKAH DENGAN HARGA DAGING SEMBELIHANNYA SEKALIPUN LEBIH BANYAK
Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya : “Bab Maa yustahabbu minal
aqiqah wa fadhliha ‘ala ash-shadaqah” : ” Kami diberitahu Sulaiman bin
Asy’ats, dia berkata Saya mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya
tentang aqiqah : “Mana yang kamu senangi, daging aqiqahnya atau
memberikan harganya kepada orang lain (yakni aqiqah kambing diganti
dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya) ? Beliau menjawab :
“Daging aqiqahnya.” [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam “Tuhfathul Maudud”
hal.35 dari Al-Khallal]
Penulis berkata : “Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya
bershadaqah dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih
banyak, maka aqiqah seseorang tidak sah jika bershadaqah dengan harganya
dan ini termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar ! Dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad .”
ADAB MENGHADIRI JAMUAN AQIQAH
Diantara bid’ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu
adalah memberikan ceramah yang berkaitan dengan hokum aqiqah dan
adab-adabnya serta yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika
berkumpulnya orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada hari
ketujuh.
Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat
suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do’a-do’a, dan bentuk-bentuk
seperti ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa semuanya termasuk
dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu adalah bid’ah, pent.
Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang
shahih bahkan dalam dhaif sekalipun !! Dan tidak pernah pula dikerjakan
oleh Salafush Sholih rahimahumulloh. Seandainya perbuatan ini baik
niscaya mereka sudah terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan
ini termasuk dalam hal bid’ah-bid’ah lainnya yang sering dikerjakan oleh
sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu
rumah-rumah kita, pent !!
Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di
dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta
menyambut kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang
dibuat-buat.
0 comments:
Posting Komentar